Self-Reflection Chapter 7: Complacency vs Gratitude
Self-Reflection Chapter 7: Complacency vs Gratitude
Penulis: Dymasius Yusuf Sitepu
Complacency: Kepuasan yang Menyesatkan
“Complacency” adalah keadaan ketika seseorang merasa terlalu nyaman dengan situasi sekarang, sehingga kehilangan kewaspadaan dan dorongan untuk berkembang. Orang yang complacent biasanya berkata dalam hati, “sudah cukup, untuk apa repot lagi?” Padahal hidup terus bergerak, tantangan selalu datang. Complacency sering berujung pada kelengahan, rasa malas, bahkan kehilangan peluang besar. Seperti kapal yang berhenti mendayung di tengah arus deras, lambat laun ia akan hanyut terbawa arus.
Gratitude: Rasa Syukur yang Menguatkan
Berbeda dengan complacency, gratitude atau rasa syukur justru membuat hati kita tenang tanpa kehilangan kewaspadaan. Rasa syukur bukan berarti berhenti berusaha, melainkan menghargai apa yang sudah ada, sambil tetap membuka diri untuk bertumbuh. Orang yang bersyukur bisa berkata, “aku cukup dengan apa yang aku punya,” sekaligus berkata, “aku masih bisa berusaha lebih baik, bukan karena kurang, tapi karena ingin memberi lebih.”
Contentment: Merasa Cukup, tapi Tetap Siap Bertumbuh
Contentment atau rasa cukup adalah titik keseimbangan. Kita tidak lagi dikuasai rasa iri atau cemas, karena percaya bahwa apa yang kita miliki sudah cukup. Namun rasa cukup itu bukan alasan untuk berhenti, melainkan fondasi untuk melangkah lebih mantap. Dari sinilah lahir kepercayaan diri dan keteguhan. Orang yang bersyukur dan merasa cukup akan lebih berani menghadapi tantangan, karena ia tidak didorong oleh rasa kekurangan, melainkan oleh keyakinan dan tujuan.
Refleksi
Hidup ini memang tentang keseimbangan. Kita perlu waspada terhadap complacency yang membuat kita lalai, tapi juga perlu belajar bersyukur agar hati kita tidak terus gelisah mengejar apa yang tidak ada habisnya. Gratitude dan contentment menuntun kita pada rasa damai, sementara semangat bertumbuh menuntun kita pada kemajuan. Kedua hal ini, bila berjalan bersama, akan membentuk pribadi yang cukup, tetapi tidak lengah.
Kesimpulan
Complacency mengarah pada kelalaian, sedangkan gratitude mengarah pada kekuatan batin. Rasa cukup yang lahir dari syukur bukanlah tanda berhenti berjuang, melainkan tanda kedewasaan. Kita belajar untuk berkata: “Aku cukup, tapi aku juga siap bertumbuh.” Inilah kunci untuk hidup dengan hati damai sekaligus tetap berani menghadapi tantangan.
Comments
Post a Comment